RSS
Write some words about you and your blog here

Saat sudah tidak ada sisa-sisa malam untuk bermimpi, saat itu kita harus belajar berdiri pada kenyataan

Kadang kala kenyataan bertolak belakang dengan mimpi kita semalam. Kita tinggal memilih untuk lebih mempercayai yang mana. Seringkali saya lebih mempercayai mana saja yg lbh indah, dan frekuensi mimpilah yang lebih dominan. TerNYATA pilihan saya salah, NYATAnya saya tidak hidup dalam mimpi, NYATAnya tiap pagi saya terbangun pada KENYATAAN. Saat seperti ini saya teringat teman-teman saya yang laki-laki. Mereka selalu berkata pada saya untuk hidup pada apa yang saya lihat nyata-nyata di depan mata saya. Satu berkata pada saya, 'sekarang jalannya ya kayak gini. Nantinya kayak apa, ya liatnya nanti aja.' Aah, saya rindu teman saya yang ini.
Selama ini saya selalu membagun mimpi saya, kadang-kadang saya lebih banyak membangun mimpi itu ketimbang bertindak bagaimana membangun masa depan saya. Sekarang saat mimpi yang sudah saya bangun itu berdiri utuh dalam bentuk maket-maket, apa yang harus saya lakukan? Pasti teman saya akan menyuruh saya membuang maket-maket itu. Kali ini sepertinya saya harus setuju pada teman saya itu.

Mengukur jarak

Selamat dini hari. Kemarin sore saya berbincang dengan teman saya. Saya ajak dia pergi ke suatu kota yang jaraknya kira-kira 700km dari Jakarta. Saya bilang, 'kita berangkat bareng, nanti sampai sana kita pisah. Kita cari kebahagiaan kita masing-masing.' Sebenarnya saya bilang seperti itu antara bercanda dan tidak. Namun dalam mencari kebahagiaan masing-masing di sana, saya tidak bercanda. Tapi ternyata konsep mencari kebahagiaan di sana tidaklah realistis, lebih tepatnya: saya sangat ragu di sana ada kebahagiaan yang tersedia untuk saya. Lalu saya mencoba memperpendek jarak dan berpikir, 30km dari sini apakah tidak ada kebahagiaan untuk saya? Kalau tidak ada, saya coba memperpanjang jarak, 1200km. Lagi-lagi saya berpikir, bisakah ini menjadi jarak tepat untuk mendapat kebahagiaan itu? Setelah terjebak oleh jarak-jarak itu, saya mencoba untuk membumi. Mempertanyakan konsep kebahagiaan yang saya cari. Lama saya berpikir, dan ternyata saya tidak mempunyai konsep kebahagiaan yang jelas sama sekali. Jadi percuma saya pergi sejauh apapun. Pergi ke kota manapun, kalau kita tidak tau apa yang kita cari, mana mungkin kita mendapatkannya. Mungkin 20m dari tempat saya duduk sekarang ini sebenarnya tercecer kebahagiaan namun saya tidak pernah memungutnya karena saya tidak pernah tau. Jadi, mengukur jarak sebenarnya akan menjadi percuma dan sia-sia. (Di luar masih sangat gelap, namun jarum jam nyaris menyentuh angka 4), sebentar lagi keributan pagi akan dimulai. Saya ingin meniduri sisa-sisa gelap ini terlebih dulu, selamat dini hari lagi!